Selasa, 15 November 2011

Kisah dan cerita Perjuangan Kemerdekaan

Kisah Perjuangan Kemerdekaan


Hari ini tepat tanggal 27 Oktober 1945, di asrama sawunggaling nampak jelas kesibukan penghuninya. Para perwiranya Mayor Rono Kusumo, Kapten Sobiran tidak melakukan kegiatan latihan, tapi mereka mengadakan rapat. Matahari sudah mulai condong ke barat ketika pada pukul 15.30 seluruh anggota dikumpulkan, dan diumumkan bahwa seluruh pasukan Sawunggaling akan keluar kota untuk mengamankan senjata-senjata.

“Mengapa harus keluar kota? Bukankah kita dibutuhkan bersama kawan-kawan dan pemuda rakyat mempertahankan kehormatan bangsa khususnya kota Surabaya?”, teriak Slamet, pemuda yang berasal dari Madura yang terkenal keberingasannya.

“Benar! Kita bertahan!”, terdengar teriakan bersahutan.“Saudara-saudara dengarkan! Kita tidak melarikan diri atau menghindari pertempuran! Pegang senapan saja belum benar, belum pula diajari cara menembak. Pasukan ini bukan pasukan sembarangan, bukan Laskar Rakyat! Mulai sekarang belajarlah berdisiplin. Ikuti apa yang diperintahkan komandan! Jam 17.30 kita berkumpul kembali untuk siap berangkat”, tegas Kapten Sobiran.

Sambil membubarkan diri terdengar disana-sini ucapan sumpah serapah. “Brengsek..! Kota sudah mulai ramai pertempuran dan kita malahan menjauh.
Kalau kita nanti tidak dilibatkan pertempuran di kota, saya akan keluar dari pasukan ini........ancamnya...........!”

“Sial! Memalukan! Kamu yang ngajak saya kemari”, geram Yono melontarkan kata-kata ditelingaku.
Kekecewaan terbayang diwajah teman-teman yang sudah tidak sabar ingin ikut bertempur membela negara kita dari kaum penjajah tentara sekutu.
Tanda telah diberikan dan kita berbondong-bondong berkumpul. Pasukan dibagi menjadi 4 seksi. Saya berada diseksi 3 dengan Komandan Kapten Djamal.
Kecuali teman sekelas di SMP Praban, tidak banyak kita saling mengenal. Dilihat sepintas Pasukan Sawunggaling merupakan pasukan yang dapat dibanggakan, karena setiap anggota memegang senjata Karaben Belanda atau senapan Jepang dan wajah-wajah anggota memancarkan keberanian dan percaya diri yang luar biasa.

SETIAP KITA MENDAPAT TANTANGAN,
ITU PERTANDA KITA BERJUANG
DAN SETIAP ORANG YANG BERJUANG
PASTI MEMPEROLEH KEMENANGAN

“Pasukan 159 orang siap!”, lapor Kapten Sobiran.
“Saudara-saudaraku! Kita akan keluar kota menuju Sepanjang. Senapan diisi dan siap tempur. Kita akan melalui pos-pos dan penjagaan pertahanan tentara sekutu, maka kewaspadaan yang tinggi sangat diperlukan. Bila melihat dan bertemu tentara Inggris awasi dan perhatikan, tetapi jangan sekali-kali mendahului menembak. Jika mereka mengadakan gerakan yang mencurigakan atau mulai menembak, baru kita serang mereka.
Wakkare Kah?”, Mayor Rono Kusumo memberi perhatian.
“Hai!”, teriak kita bersama.

“Seksi-seksi maju berjajar! Tepi kiri-kanan jalan dan waspada!”
Keremangan senja , membuat jarak pandang mata berkurang.
“Lihat di sebelah kanan di bawah pohon, 20 meter depan kita!”, bisikku kepada Soeshandoko yang berjalan dibelakangku.
“Ya, 2 orang Gurkha. Senapan sudah diisi? Mereka tiarap dengan senapan ditujukan pada kita”, sahutnya.
Bulu kudukku berdiri mengingat maut demikian dekat dihadapanku, tanpa kita boleh menembak bila tidak terpaksa. Batinku menerawang ke Bunda tercinta.
“Lindungilah putramu, Ibu!”, doaku.
Namun syukurlah kita melewati mereka tanpa terjadi insiden. Mungkin mereka telah mendapatkan peringatan dari komandannya yang sama seperti yang diperingatkan kepada kita.
Beberapa pos pertahanan kita lewati dan kekhawatiran hilang diganti rasa kesal dan lelah, hanya suara sepatu yang mengiringi pada setiap langkah.
Perjalanan diteruskan sampai Pabrik Gula Ketegan. Suatu perjalanan yang melelahkan dan dilakukan dengan setengah hati. Tidak heran begitu tiba di tempat istirahat kami langsung merebahkan diri diiringi suara mendengkur bersahutan.


bersambung................

Kisah Nyata Perjuangan Kemerdekaan di TURI

Profil salah satu pejuang :
  Nama: Jodja Semeru
  Umur : 22 tahun.
  Gugur : 3-Januari-1949, di Nangsri Kidul, Girikerto.
  Anak dari : Bapak Wignyoadidjojo, dusun Mesan,Kal.Sinduadi.Kec.Mlati,Sleman,DIY
Rentetan Peristiwa :
Pada hari minggu legi tgl 19-Desember-1948, tentara Belanda menyerang Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta, melalui lapangan terbang Meguwo (Adisucipto)
Pada tgl 20 Desember 1948 kantor Kecamatan Turi yang dipimpin oleh RW.Projoharjono, pindah tempat yang lebih aman di rumah bapak R.Pawirosumarto dusun Karanggawang, Girikerto. Di rumah bapak Mangundikromo di karanggawang didirikan Bos PMI yang dipimpin oleh bapak Suwadi (Mantri Kesehatan). Dan pada saat itu juga kantor pemerintah Kabupaten Sleman yang dipimpin oleh bapak Bupati KRT. Projodiningrat mengungsi /dipindahkan ke rumah Bpk Mertodiharjo dusun Nangsri Kidul, sedang pengawalnya dari Kepolisian Sleman ditempatkan di rumah Bapak Mertosenjoyo dusun Nangsri Kidul. Bapak Bupati dan perangkatnya bertempat di Nangsri Kidul Girikerto selama kurang lebih 7 hari, seterusnya pindak ke dusun Manggungsari Wonokerto, diteruskan lagi ke Candi Purwobinangun,Dst. Mobil Bapak Bupati ditinggal di Nangsri Kidul Girikerto, berhubung Belanda datang di Nangsri maka mobil dinas tersebut dibuang di Sungai Adem sebelah utara Dusun Nglempong untuk meninggalkan jejak.
Pada waktu Bapak Bupati Menempati Nangsri, Oleh bapak Mayor Suroyo dibentuklah pasukn gabungan dari tentara, pelajar, dan juga dari pemuda setempat untuk menpertahankan Girikerto dari ancaman Belanda dan atas restu dari Bupati pasukan tersebut diberi nama pasukan Poncowati.
Pada tanggal 3 Januari 1949 (senin legi) dari markas tentara Belanda di Kaliurang berkekuatan satu pleton menyerbu ke Nangsri Kidul dengan sistem Guntingan. Sedangkan jalur-jalur yang dilewati oleh tentara Belanda adalah :
1. Kemirikebo-Mincon (Bnagun Mulyo)-Nangsri Lor-Nangsri Kidul dan  di Nangsri Lor menembak mati Ny kromo
2. Kemirikebo-Pelem-Kloposawit-Kuncen-Babadan-Soprayan- Somoitan-terus ke Nangsri Kidul dan di Babadan berhasil menembak  mati bapak Kariyorejo (laskar)
3. Candi-Pancoh-Glagahombo-Nangsri Kidul.
Tetapi penyerbuan tersebut tidak berhasil, karena anggota pasukan Poncowati telah berpatroli ke daerah Girikerto Utara sehingga terjadi pertempuran di Girikerto Utara tepatnya di selatan dusun Kemirikebo dan di selatan Dusun Pelem.Dalam pertempuran tersebut tidak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.
Semua anggota pasukan Poncowati bermarkas di Nangsri Kidul berpatroli di Girikerto Utara tetapi ada satu anggota yang tidak ikut karena sakit yaitu bapak Jodja Semeru. Karena tujuan Balanda adalah menyerang Nangsri Kidul maka bapak Jodja Semeru yang sedang sakit dapat ditemukan belanda dan akhirnya dia dibawa oleh belanda lalu ditembak mati di jembatan kali Adem sebelah utara dusun nglembong dekat pembuangan mobil dinas Bupati dan jenazah Bapak Jodja Semeru dimakamkan di Dusun Nangsri Kidul. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka dibangun monomen bambu runcing dan di tanda tangani oleh Bapak Mayor Infantri Muh Dhorun selaku Kakaminvetcad. Kab.Sleman.
Pada tanggal 4 Januari 1949, jam 16.00 Belanda dari markas Kaliurang mengadakan patroli ke Watu Wdeg Purwobinangun dan menginap di bekas Loji Watu Adeg dan berhasil menembak mati seorang dari Tenta Pelajar yang bernama Sarmono. Paginya tanggal 5 januari 1949 Belanda mendapat pengadangan dari TRI batalion 151 yang dibantu oleh Rakyat maka terjadilah pertemputan. Tentara Belanda mendapat bantuan dari markas Medari dengan tembakan mortir\kanon beberapa kali. Terdapat korban jiwa dari Belanda 3 orang dan di makamkan di Cepet sedangkan dari pihak Tentara Indonesia tidak ada. Lalu pada waktu besamaan markas Batalion 151 di Tunggul diserang dari Barat dan bapak Haryadi gugur.
Pada tanggal 7 Januari 1949 (Jumat Kliwon) belanda mengadakan serangan umum. Belanda membakar Sekolahan Rakyat di Karanganyar dan menembak mati 6 orang di Pabrik Bubrah sekarang dusun Pulihrejo.
Karena tentara Belanda sudah mengetahui bahwa pertempuran 5 Januari 1949 mendapat bantuan dari rakyat dengan senjata bambu runcing dan cara mengumpulkan rakyat tersebut dengan membunyikan kentongan maka pagi hari Tentara belanda dari markas Kaliurang mengadakan serangan balik. Karena Belanda sudah mengetahui bahwa pengumpulan masa dengan membunyikan kentongan lalu Belanda membunyikan pentongan tersebut di dusun Nganggrung wonokerto untuk mengumpulkan masyarakat. Dan dengan gigihnya masyarakat yang mendengar bunyi kentongan tersebut mendatangi asal kentongan dan di hadang oleh belanda dengan tembakan maka jatuhlah korban jiwa, yaitu :
1. Sdr Slamet. Laskar rakyat, umur 23 dari dusun Daleman dan  jenazahnya dimakamkan di Daleman. Oleh masyarakat Daleman dibuat  monumen Slamet untuk mengenang peristiwa tersebut.
2. Sdr. Suyono desa Nangsri, yang kena tembakan pada pahanya dan dirawat di RS Dawung candibinangun pakem.lalu di bawa ke Betesda.
Pada tanggal 1 Maret 1949, pada waktu diadakan serangan umum di Yogyakarta, sebagian dari tentara Indonesia ada yang menyerbu Kaliurang dan bpk Marjono dari tentara pelajar meninggal, beliau dimakamkan di Nangsri Kidul lalu setelah situasi aman jenazah beliau dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Yogyakarta.
Saksi dan pejuang serta sumber berita:
1. Bapak H. Subarso marto widarsono ketua LVRI ranting Turi/staf                            LVRI Sleman
2. Bapak Margino Dwijosumarto anggota LVRI


Dalam Perjuangan Kemerdekaan RI


Sekilas kisah perjuangan Kemerdekaan Tau Taa atau yang akrab di kenal To Wana akan menghentakkan kita dari
kebutaan tentang sejarah yang terpatri oleh sekelompok masyarakat adat yang berdiam di dataran tinggi Bulang dan
sekitarnya.
Tak banyak yang kenal, bahkan tak di ajarkan di sekolah, walau di tiga kabupaten yaitu Tojo Una-Una, Morowali dan
Banggai yang merupakan tiga wilayah administratif pemerintahan Sulawesi Tengah, yang menjadi tempat kehidupan To
Wana, bahwa mereka pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial.
Sebagaimana lazimnya, perjuangan itu membutuhkan pengorbanan baik, harta maupun jiwa. Dalam kisah yang
digambarkan seorang Profesor Antropologi dari Amerika Serikat yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden dan
Pengawas pada Lewis & Clerk College, Portland-Oregon, Prof Dr Jane Monnig Atkinson yang disampai-kan pada
Seminar Sehari bertema “Demokratisasi Hubungan Antara Tau Taa Wana Dengan Pemerin-tah Yang
Berkeadilan”, di Palu Golden Hotel, Diselenggarakan oleh Yayasan Merah Putih Palu, 5 Desember 2006, To
Wana dibawa pimpinan Raja Tanjumbulu dan Apa Ila turut serta dalam semangat revolusi kemerdekaan.
Digambarkan bahwa menjelang kemerdekaan Indonesia, sekalipun Raja Tanjumbulu merupakan penguasa sebuah
daerah Swapraja yang besar di Teluk Tomini, namun dia memilih tetap dalam semangat revolusi Gerakan Merah-Putih
lintas Teluk-Tomini yang digalang oleh Nani-Wartabone dan Kusno-dhanupoyo berkedudukan di Goro-ntalo. Pada
tanggal 23 Januari 1942, di Gorontalo, GMP (gerakan merah-putih) mengambil alih tangsi-tangsi dan kantor milik
Belanda, lalu menggantikan bendera Belanda dengan bendera Merah-Putih, dan di tengah orang ramai menyanyikan
lagu kebangsaan Indonesia Raya (yang diciptakan oleh W.R Soepratman 13 tahun sebelumnya). Pada bulan berikutnya,
gerakan serupa terjadi di mana-mana–di Tolitoli, Luwuk, dan tentu saja di Ampana.
Pada tanggal 21 Februari 1942, Ampana mendeklarasikan kemerdekaannya dari jajahan Belanda serta mengibarkan
bendera Merah-Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Para pemimpin lalu menyiapkan kekuatan untuk
menyongsong kedatangan armada Belanda dari Poso, dan keponakan Tanjumbulu sendiri didaulat sebagai pemimpin
pasukan revolusi.
Sesungguhnya, bukan hanya ke-rabat kerajaan Tojo saja yang terlibat dalam gerakan revolusi kemer-dekaan Indonesia,
Orang Wana pun demikian. Menjelang deklarasi kemerdekaan Ampana dari jajahan Belanda, Raja tanjumbulu berangkat
ke dataran tinggi menemuiOrang Wana di Ulu Bongka. Lalu dia berangkat pula ke Burangas, sebuah wilayah terdalam
dari Orang Wana dekat Tongku Tu’a, di sana dia menemui tokoh Wana bernama Apa Ila. Apa Ila yang sedang
melakukan upacara pembacaan mantra di depan masyarakatnya, karena tahu maksud kedatangan Raja Tanjumbulu,
kemudian meminta warganya mengumpulkan Padi, Ayam, Telur dan air beras sebagai minuman khas lokal, sebagai
bentuk penghormatan bagi pahlawan Orang Wana di masa silam bernama Pololoiso. Apa Ila pun pada masa lampau
merupakan tokoh yang dianggap punya tuah (keajaiban) sehingga dia dianggap memiliki kuasa dan baraka, dan dia
bertanggungjawab atas kedamaian di tanah-airnya, serta berhasil mengusir Belanda keluar dari wilayah adat Orang
Wana.
Empat puluh hari setelah dimulainya perang dunia 2, tepatnya tanggal 11 Januari 1942 tentara Jepang telah mendarat di
Manado dan bersiap menuju ke selatan. Tentara Belanda di Sulawesi Tengah juga menjadi incaran gerakan invasi
Jepang. Belanda memutuskan tetap bertahan di Poso sebagai basis perlawanan mereka, tapi bila mereka terdesak oleh
Jepang, Belanda akan mundur ke Kolonodale. Belanda lalu memerintahkan semua aparatnya termasuk rakyat yang
tunduk pada mereka untuk memusnahkan semua perlengkapan mesin dan bekal pangan agar jika Jepang tiba mereka
tidak punya persediaan yang cukup buat melawan Belanda. Bahkan termasuk Raja Tanjumbulu diperintahkan oleh
Belanda untuk membuang seluruh tumpukan kopra yang ada di daerahnya agar di buang ke laut. Pak Abu Saleh
Tanjumbulu, anak dari Raja Tanjumbulu, menceritakan kepada Prof Atkinson, betapa bapaknya ketika itu sangat marah
saat Belanda menyuruh dia merusak mobilnya sendiri yang ada di Ampana agar Jepang tidak dapat menemukan suku
cadang mobil ketika mereka tiba di Ampana kelak.
Berita tentang kedatangan invasi Jepang ke Sulawesi tidak lagi menjadi rahasia, sebab ketika itu, sudah ada beberapa
orang di Am-pana yang memiliki Radio, termasuk salah satunya yang dipunyai oleh Raja Tanjumbulu, satunya lagi
terdapat di rumah Baba Sun Ho, seorang saudagar dan sahabat Raja Tanjumbulu. Banyaknya armada kapal di sekitar
Teluk Tomini juga memudahkan tersiarnya kabar tersebut dengan cepat ke seluruh pelosok Teluk Tomini. Di bahagian
selatan wilayah Orang Wana, kabar tersebut mereka dapatkan dari Kolonodale.
Keinginan Apa Ila sebelumnya yang meminta seluruh Orang Wana untuk berkumpul dan menyatu di dalam kawasan
hutan dan pegunungan ternyata merupakan isyarat bahwa, kelak akan terjadi gelombang invasi dari pihak lain, yaitu
Jepang. Dari sebelah utara, Orang Wana dari beberapa kampung seperti Mire, Linte, dan Yapi, serta dari selatan seperti
Lijo, Sea, dan Salea juga ikut bergabung dengan anjuran Apa Ila, dan mereka semua berkumpul lalu menyingkir ke
pedalaman kawasan hutan yang sulit dijangkau oleh siapapun. Sekalipun anjuran Apa Ila sebelumnya banyak menuai
sikap sinisme dari komunitas Wana sendiri terutama yang tinggal di pesisir, namun setelah terjadinya invasi Jepang
tersebut, maka perlahan-lahan seluruh Orang Wana mulai paham bahwa apa yang diisyaratkan oleh Apa Ila merupakan
bentuk tidak langsung dari upaya menyelamatkan Orang Wana dan menghindari konfrontasi langsung dengan situasi
yang terjadi di wilayah pesisir akibat meletusnya perang.
Menurut Tim Penulis Sejarah PDK, ketika itu Raja berangkat ke sebelah selatan untuk menyelidiki kasus pemubunuhan
atas seorang prajurit Belanda di Ulu Bongka. Namun sayangnya, tak satupun dari orang yang saya wawancarai yang
mengetahui pasti kejadian pembunuhan tersebut, tidak bagi Orang Wana di dataran tinggi (saya bertanya pada orang di
Burangas), begitu juga tidak diketahui oleh orang di pesisir (di Ampana). Pada-hal, beberapa tahun sebelumnya juga
tersiar kabar tentang pem-bunuhan beberapa orang prajurit Belanda di Pindu Loe dan terjadi lagi pada awal
kemerdekaan Indonesia, tiga orang prajurit Belanda kesemuanya merupakan orang lokal yang direkrut sebagai tentara
ESILO Media Aspirasi Rakyat
http://www.ymp.or.id/esilo Powered by Joomla! Generated: 16 November, 2011, 03:12
Belanda terbunuh oleh suatu peristiwa yang belum diketahui sebabnya. Namun, sekali lagi, tidak satupun sumber yang
saya peroleh apakah itu di dataran tinggi maupun di Ampana, yang mungkin tahu bahwa telah terjadi pembunuhan di
Burangas. Tampaknya rumor tersebut berhasil memancing Raja Tanjumbulu dan armada Belanda bergerak ke Burangas.
Pada tahun 1970-an saya memperoleh cerita dari beberapa sumber, bahwa sebahagian Orang Wana percaya bahwa
kepergian Raja (Tanjumbulu) ke Burangas bukan untuk mencegah terjadinya per-tumpahan darah, namun untuk
memprovokasi (membakar sema-ngat rakyat) dengan bergabung bersama Apa Ila untuk berperang melawan Belanda
dan kemudian merencanakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Beberapa versi mengatakan bahwa, saat
itu Raja (Tanjumbulu) menggunakan bahasa esoteris dan tidak langsung (perumpamaan) dalam bahasa lokal, sehingga
sebahagian tidak dimengerti oleh warganya, bahkan ketika dia meminta agar perempuan dan anak-anak diungsikan
agar memudahkan peperangan, perintah tersebut tidak sepenuhnya dipa-hami, akibatnya ketika meletus perang dengan
Belanda, banyak korban yang jatuh di kalangan perempuan dan anak-anak.
Tapi, menurutku, versi cerita yang paling mungkin adalah yang satu ini Otorita Belanda di Kolonodale mendapat kabar
dari orang Mori di Bungku Utara bahwa banyak Orang wana tengah mempersiapkan pembangkangan kepada Belanda
dan sekarang mereka meninggalkan kampung masing-masing menuju Burangas. Kemungkinan, telah beredar rumor di
telinga Belanda bahwa ada prajuritnya yang mati terbunuh di wilayah Wana, sehingga dengan disiarkannya kabar buruk
tersebut akan memancing terjadinya perang terbuka diantara pihak Wana dengan Belanda. Karena itu, otoritas Belanda
lalu mengirim pasukannya dari Kolonodale menuju Burangas untuk menghentikan aksi yang dipimpin oleh Apa Ila.
Karena diantara kedua belah pihak telah saling bersiap-siap untuk berpe-rang, maka Raja Tanjumbulu lalu pergi ke
selatan untuk menengahi pertikaian diantara kedua belah pihak, sebab dia tidak ingin banyak warganya (Orang Wana)
mati terbunuh.
Kerumunan Orang Wana yang sedang berkumpul untuk berperang di Burangas selanjutnya dibubarkan. Sebagai
perimbangan, Kepala-Kepala Kampung dari Ulu Bongka yang ditawan oleh Belan-da sebelumnya akhirnya dibebaskan
.Setelah peristiwa tersebut, Apa Ila dan punggawa perangnya dibawa oleh Belanda ke Kolonodale dan basis pertahan
dan perkampungan mereka dibumi-hanguskan oleh Belanda.
Kejadian di Burangas, lantas menimbulkan sikap sinisme baru di kalangan Orang Wana.Sebuah peristiwa bersejarah
yang terjadi berikut ini Tanggal 23 Februari 1942, Raja Tanjumbulu tiba di muara Sungai Bongka di mana rakyatnya
sedang menunggu untuk menghadang kedatangan armada Belanda dari Poso yang bermaksud untuk membubarkan
kumpulan massa yang sudah semakin banyak berdatangan ke Ampana beberapa hari sebelumnya. Karena melihat
kesungguhan rakyat untuk melawan Belanda, Raja Tanjumbulu lantas merestui keinginan rakyat untuk menghadang
kedatangan Belanda agar tidak masuk ke kota Ampana.
Tapi kekuatan balatentara rakyat tidak sebanding dengan kekuatan armada Belanda, dengan kekuatan tiga puluh
prajurit bersenjata lengkap, mereka berhasil merebut pertahanan di muara Bongka, lalu bergegas menuju ke Ampana,
untuk mencari gerakan pasukan revolusi yang telah mempersiapkan aksinya di istana Raja. Begitu tentara Belanda
datang dan hendak menurunkan bendera Indonesia Raya, maka tiba-tiba dua Orang Wana bernama Nggai dan Salibu
(atau dikenal dengan sebutan Papa Judaedah dan Papa Dero) menyerang Belanda sekalipun keduanya akhirnya gugur
diterjang pasukan Belanda.
Setelah lama bertahta, Raja Tanjumbulu untuk pertama kalinya pensiun dari tugasnya dan lebih banyak beraktifitas di
perkebunan miliknya di dekat Ampana, lalu dia pindah ke Tanjung Api, lalu pindah lagi ke kepulauan Togean, dan
terakhir berpindah ke Gorontalo, tempat di mana dia bertemu dengan Gerakan Merah Putih sebuah gerakan revolusi
kemerdekaan yang giat melawan invasi Jepang di utara Sulawesi.Ketika Jepang menguasai Poso, dia dimin-ta untuk
kembali menjadi pemimpin lokal, namun nanti setelah Jepang membangun pusat kontrol di Ampana – barulah dia
kembali.
Tapi waktu terus berjalan, dan Tanjumbulu mendapatkan cobaan baru, yaitu dirinya difitnah oleh pimpinan kantor
pemerintahan Jepang di Sulawesi Utara. Menurut catatan sejarah versi temuan Tim PDK, pimpinan kantor perwakilan
Jepang di Sulawesi Utara menga-rang cerita dan mengabari pihak Jepang bahwa – Tanjumbulu ber-sama rekanrekannya
di Ampana merupakan mata-mata pihak Seku-tu. Pihak Jepang percaya kabar tersebut, dan Tanjumbulu
bersama rekan-rekannya di tangkap oleh Jepang yang akhirnya dieksekusi di hadapan umum pada tanggal 10 Oktober
1942 di kota Poso. Tidak lama setelah peristiwa tadi, pihak Jepang mendapat kabar yang lain bahwa semua tuduhan
atas Tanju-mbulu tidak benar, dan Jepang menye-sal atas keputusan hukuman yang di berlakukan bagi Tanjumbulu.
Perwakilannya di Sulawesi Utara yang mengarang berita bohong tersebut lalu dihu-kum oleh Jepang, dan nama baik keluarga
Tanjumbulu direhabilitasi kem-bali oleh pihak Jepang.
Dalam catatan se-jarah versi PDK tersebut, menyatakan bahwa beberapa orang musuh dari Tanjumbulu yang tinggal di
Swapraja Tojo mengirim surat ke pihak Jepang yang mengatakan bahwa Raja Tanjumbulu telah membuat kesalahan,
sehingga mengapa kemudian Tanjumbulu dihukum oleh Jepang. Versi cerita ini yang banyak dipercayai oleh
masyarakat, termasuk yang di pesisir maupun di dataran tinggi (termasuk Orang Wana). Banyak Orang Wana percaya
bahwa dokumen surat yang dikirimkan ke pihak Jepang tersebut ditandatangani oleh beberapa orang Kepala Kampung
yang pernah ditangkap oleh Belanda semasa perlawanan Apa Ila di Burangas berlangsung. Dengan kata lain,
sebahagian Orang Wana percaya bahwa, ada hubungan sebab-akibat antara kepergian Raja ke Burangas dan
kematiannya di tangan Jepang delapan bulan kemudian. Tapi sejauh yang saya dapat katakan di sini adalah asumsi
sebab-akibat kematian Raja yang banyak diyakini oleh Orang Wana bukanlah sebuah fakta yang sebenarnya, sebab
kematian Raja Tanjumbulu menurut kesimpulan saya sejauh ini merupakan sesua-tu yang sudah dipersiapkan oleh
pihak Jepang sebagai bentuk skenario politik untuk menguasai persilangan Teluk Tomini yang sangat staregis letaknya
(menuju lautan pasifik selama Perang dunia ke-2). Artinya pihak Jepang sengaja ingin menciptakan kekacauan dan
ketidakstabilan situasi di tengah masyarakat untuk memudahkan mereka kelak dapat menguasai penuh wilayah
Sulawesi Tengah.
ESILO Media Aspirasi Rakyat
http://www.ymp.or.id/esilo Powered by Joomla! Generated: 16 November, 2011, 03:12
Tapi sayangnya, setelah bertahun-tahun pasca sejumlah peristiwa kelam tadi, ingatan atau memori kolektif mereka tetap
mengingat beberapa tragedi yang mereka anggap sangat memilukan bathin, termasuk perasaan bersalah yang terus
menghantui mereka atas hilangnya dinasti pemerintahan mereka (Keluarga Kerajaan Tojo dipandang sebagai baha-gian
dari hubungan darah me-reka, dari pertalian Raja Tunduntaka “Pue Taka”).Termasuk menempatkan satudua
nama dalam bathin mereka dari peristiwa yang terjadi di Burangas (Apa Ila dan Raja Ta-nujumbulu). Sekalipun
mereka tetap berpartisipasi dalam setiap proses pembanguan seperti Pe-milu, Sensus Penduduk, atau terlibat dalam
proyek transmigrasi tapi semua keterlibatan tersebut tetap dihantui oleh luka lama terjadinya penghianatan atas
komunitas mereka (peristiwa Burangas dianggap bentuk penghianatan Raja Tanjumbulu atas perlawanan mereka yg
dipimpin Apa Ila melawan Belanda).
(Sumber: Makalah Prof Dr Jane Monnig Atkinson/Profesor Antropologi, Wakil Presiden dan Pengawas
pada Lewis & Clerk College,
Portland- Oregon, USA)
ESILO Media Aspirasi Rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar