Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara
Kera dan Ayam
Cerita
ini mengisahkan tentang kerjasama yang sangat baik antara seekor ayam
dan kepiting untuk menghancurkan rencana jahat seekor kera. Sang ayam
dan kepiting berhasil membujuk sang kera yang berupaya memangsa sang
ayam untuk masuk ke dalam perahu. Saat perahu mulai melaju, kepitingpun
melubangi dasar perahu sehingga sedikit demi sedikit air pun mulai
menggenangi perahu. Kemudian secara bersamaan sang ayam terbang dan
kepitingpun keluar dari lubang perahu dan mereka dapat kembali ke
daratan, meninggalkan kera yang tak mampu berbuat apa-apa dalam perahu
yang tenggelam itu.
Si Rusa dan Si Kulomang ( Maluku )
Alkisah,
seekor rusa yang tinggal di hutan di kepulauan Aru merasa sangat bangga
dengan kemampuan larinya. Ia selalu menantang setiap hewan untuk
bertanding lari. Suatu hari ia menantang si Kulomang ( siput laut )
untuk bertanding lari di pinggir pantai sampai ke tanjung ke 11.
Kulomang bekerjasama dengan teman-temannya untuk mengalahkan si rusa
yang sombong. Setiap Kulomang berada di Tanjung yang berbeda-beda. Saat
bertanding lari, rusa terkejut saat ia menyadari Kulomang selalu sudah
berada di dekatnya. Si rusa berlari sekencang mungkin hingga ia
kehabisan napas dan jatuh tak berdaya di Tanjung ke 10.
Si Sigarlaki dan Si Rimbat ( Sulawesi Utara )
Cerita ini mengisahkan tentang kegigihan hati seorang hamba, bernama
Limbat dalam mempertahankan hidup atas dasar kejujurannya. Sigarlaki,
sang majikan yang ahli mmenombak berusaha mencuranginya berkali-kali
dengan berkata, siapa yang lebih cepat keluar dari air, Lembing atau
Limbat, berarti ia kalah dan harus mengabdi lepada yang menang.
Berkali-kali Sigarlaki mencoba mencurangi Limbat Namur Lembing yang ia
lemparkan ke dalam air harus berkali-kali dicabutnya sebelum Limbat
keluar dari air. Akhirnya Sigarlaki menyerah dan mengakui kegigihan
seorang Limbat.
Buaya Ajaib ( Papua )
Kisah
ini menceritakan tentang hubungan baik antara hewan dan manusia yang
tahu membalas budi. Towjatuwo bertemu buaya yang dapat berbicara bernama
Watuwe, di sungai Tami saat mencari batu tajam untuk menolong istrinya
melahirkan. Watuwe membantu istri Towjatuwa melahirkan bayi laki-laki
dan meramalkan anak tersebut akan menjadi pemburu yang handal, namun ia
meminta agar Towjatuwa dan keturunannya untuk tidak berburu buaya.
Apabila dilanggar Towjatuwe dan keturunannya tidak akan bertahan hidup.
Sejak itu Towjatuwa dan keturunannya melindungi binatang yang ada di
sekitar sungai Tami.
Batu Golog ( Nusa Tenggara Barat )
Pada
jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah
keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama
Amaq Lembain.
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan
kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada
suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya
diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama
makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai
memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq
Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar,
Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama
makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian
berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan
menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya
suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu
mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq
Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa
naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat
mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib.
dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan
menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian
pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong
olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di
tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang
menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di
suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi
nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah
menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan
adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari
manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
(Cerita ini diadaptasi secara bebas dari I Nengah Kayun dan kawan-kawan,
“Batu Goloq,” Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Departemen P
dan K, 1981, hal. 21-25).
Suri Ikun dan Dua Burung ( Nusa Tenggara Timur )
Pada
jaman dahulu, di pulau Timor hiduplah seorang petani dengan isteri dan
empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh orang
perempuan.
Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak
mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada
sering dirusak oleh seekor babi hutan.
Petani tersebut menugaskan pada anak laki-lakinya untuk bergiliran
menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara
laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita mendengar dengusan babi
hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya.
Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu
mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya
kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya.
Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan daging babi hutan
tersebut. Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan
itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian
kepala.
Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik
ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai
malam.
Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu
jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak
tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah.
Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan.
Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh
hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun.
Setelah berada ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut
menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu itu
ia masih terlalu kurus.
Ia kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua
itu gelap sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri
Ikun masih ada sinar yang masuk ke dalam gua.
Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang
kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian tahun,
burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat.
Mereka ingin mem- bebaskan Suri Ikun.
Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung
tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka
menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi.
Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana
lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya
Suri Ikun berbahagia.
(Diadaptasi bebas dari Ny. S.D.B. Aman,”Suri Ikun and The Two Birds,”
Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976).
Tadulako Bulili( Sulawesi Tengah )
Di
desa suatu desa bernama Bulili hiduplah 3 orang tadulako atau panglima
perang.
Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove. Mereka
terkenal sangat sakti dan pemberani. Tugas utama mereka adalah menjaga
keselamatan desa itu dari serangan musuh.
Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili.
Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu
mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke
kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya.
Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi.
Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui
suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili.
Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi
dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun
menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk
meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir.
Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada
Tadulako itu: “kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah.”
Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu
mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya
lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan
orang.
Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu.
Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar
mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar
dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil
menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada
banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar
mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya
kembali ke Sigi dengan kecewa.
(Diadaptasi secara bebas dari Drs. A, Ghani Ali dan Kawan-kawan,
“Tadulako Bulili,” Cerita Rakyat Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen P
dan K, 1981, 113-118).
La Dana dan Kerbaunya (Sulawesi Selatan)
La
Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan
kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya
orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.
Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta
kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan
mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari
kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu
kecuali bagian kaki belakang.
Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging
bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya
adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum
disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan
rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya
gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu
berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan
dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.”
Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan
kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau
kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya
membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana
untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar
bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian
badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari
berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta
agar hewan itu dipotong.
Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata,
“Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang
lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil
membawa seekor kerbau gemuk.
Cerita rakyat Malin Kundang
Pada
suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan
keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah berganti tahun,
ayah Malin Kundang tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga
ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin Kundang untuk mencari
nafkah.
Malin Kundang termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering
mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin
Kundang sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya
luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak
bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang
banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir
untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika
kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin Kundang tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang
dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin Kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang
setuju dengan maksud Malin Kundang . Tetapi karena Malin Kundang terus
mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat
hati.
Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin Kundang
segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika
engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau
lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin
Kundang sambil berlinang air mata.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di
serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada
di kapal dirampas oleh bajak laut . Bahkan sebagian besar awak kapal dan
orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin
Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut,
karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin Kundang segera bersembunyi di
sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada,
Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai .
Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di
desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya.
Desa tempat Malin Kundang terdampar adalah desa yang sangat subur.
Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin Kundang lama
kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak
kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang.
Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis
untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah
sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur
dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin
Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin
pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin Kundang dan istrinya melakukan
pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal
serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari
menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke
pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak
kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin
Kundangbeserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah
cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut,
semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.
“Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi
kemudian?
Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga
terjatuh.
“Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata
Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali
ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju
compang-camping.
“Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang.
“Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku
agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin Kundang kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu
Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak
durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin Kundang
menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku,
aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin
Kundang . Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan
lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Cerita rakyat Sangkuriang
Pada
jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama
Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama
Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap
berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang
bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak
kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya
memang sengaja merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk
berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan.
Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu
tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat
mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar
buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti
perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka
Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah
bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada
ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah.
Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena
merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk
pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia
berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan
anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka
Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda
selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia
berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia
sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total.
Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan
bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain
adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita
tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran
Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di
waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu
di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan
dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena
pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas
luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah
bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi
bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut
adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah
dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi
mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan
rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak
disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka
tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi
menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada
Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut,
maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka
pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin
supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta
Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang
sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan
berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan
kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya
dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut.
Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa
terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat
yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar
kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna
memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang
pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak
dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang
telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah
banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan
besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup,
lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Cerita rakyat Bali
Manik
Angkeran
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama
Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau
Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik.
Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka
namai Manik Angkeran.
Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia
melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik
Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu
harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah
akan hukum karma."
"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam
sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air
yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya,
Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang
tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau
Bali.
Legenda Putri Nyale dari Lombok
Menurut
dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat
sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini
dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk
pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang
terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama raja
Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting.
Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang
putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan
cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya
laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping
anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut.
Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya.
Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat
pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai
kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan
segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale.
Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban
alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini.
Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari
diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin
yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama,
malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan
hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari
Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung bersama ombak yang
gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur - angsur
lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk
timur.
Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi
solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus
dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional.
Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang
kejadian yang tersebar hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan
sekitarnya. Dongeng ini sangat menarik dengan cerita yang sangat
romantis dan berkembang melalui penuturan orang - orang tua yang
kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.
Cerita Rakyat Jawa Barat
Asal Mula Kota Cianjur
Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah
seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan
ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang
menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan
kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong,
tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya
memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan
terhadap anak lelakinya sekalipun.
Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati
sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya.
Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta
syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi
lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir
mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir
yang diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum yang
menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa mengelus dada manakala
jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah
yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak dapat menikmati
jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu datang ke
pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan
ada yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya
tersebut.
Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung
meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari
harta tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata.
Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan
ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya.
Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya
meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena
tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil
makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia
mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut
diserahkannya kepada sang nenek.
Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun
memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan
mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan
kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di
salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut.
Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar
dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya
sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia
mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat
balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak tadi
dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat
tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat tersbut
kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan banyak, dan
mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.
Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang
kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan
mengingatkan warga desa, “banjir!!!”
Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke
mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera
mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat
kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk
untuk segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini,
larilah ke atas bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh
warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk
lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing.
Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau
begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir
bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak
pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada di
desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan bentakan
dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir
meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi.
Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak
ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat.
Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas
jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka yang
baru.
Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah
di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun
mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah
yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran
pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran.
Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal
sebagai Kota Cianjur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar